Lagu “Zona Nyaman”
milik Fourtwnty yang nyenengin kuping membuat saya terbuai hanyut dan seketika
teringat dengan filmnya. Film agak lama – tahun 2015 – tapi saya tergelitik
untuk menuliskan review-nya, sembari
ditemani alunan “Zona Nyaman”. Siapa tahu buat kalian penikmat film yang
kelewatan nonton film ini, tonton dah! Karena saya terkenang kata sang sahabat
yang pernah menyesal karena telat nonton film 3 Idiot yang luar biasa itu. Jadi mungkin aja bisa jadi penyesalan
yang sama buat yang telat nonton Filosofi Kopi.
Banyak quote bagus dalam film Filosofi Kopi ini
(kali ini saya nge-review sequel 1)
dan alur cerita yang mudah yang mudah dicerna namun tidak bisa diprediksi membuat
kita tidak beranjak dari tempat duduk kita. Selain acting para aktor yang cukup ciamik, terutama dua aktor utamanya Si
Idealis dan Si Realistis yang bersahabat namun sering ‘bertarung mulut’.
Sesuai dengan
judul filmnya, film ini berlatarbelakang kopi. Aktor Chicco Jerikho berperan sebagai
Ben, pria berambut gondrong tak rapi tapi tetap macho dengan hiasan topi
khasnya. Sedangkan Rio Dewanto memerankan Jody yang berpenampilan lebih tertata
selayaknya menjadi bos kedai. Mereka adalah sepasang sahabat sejak kecil hingga
dewasa yang memiliki bisnis kedai kopi bernama Filosofi Kopi. Ben adalah sosok
idealis akut, sedangkan Jody sosok realistis. Perbedaan itu membuat mereka
kerap cekcok atas permasalahan-permasalahan tertentu. Penulis cukup terkesan
dengan perpaduan sepasang sahabat ini. Berbeda tapi saling mengisi. Mereka
tidak bisa jika tidak bersama, karena mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Bisnis mereka
ini sedang terbelit hutang sebesar 800 juta rupiah. Sekarang mereka memiliki
tunggakan 3 bulan angsuran. Jody bertambah panik karena dia didatangi penagih
hutang yang mengancam jika tidak segera dibayar akan dibawa ke rana hukum. Jody
dan Ben melakukan rapat kecil untuk mengatasi persoalan ini, tapi solusi
kesepakatan yang didapat NIHIL.
Kemudian, film
ini mulai membuat terhenyak saat Ben Sang Barista berani menantang sebuah Agensi
yang memiliki proyek tender kopi terlezat, yang mana Si Penilai Kopi adalah
seseorang penggila kopi yang ‘kebanyakan uang dan uangnya nganggur mungkin’
rela berkeliling dunia hanya untuk menemukan kopi-kopi lezat. Pada awalnya, Ben
diimingi-iming hadiah Rp100.000.000 (baca: 100 juta) jika berhasil memenangkan
kompetisi kopi terlezat di Jakarta. Namun, Ben Si Idealis malah bertindak gila,
dia berani menantang balik Si Agensi yaitu meminta hadiah kemenangan dengan
tambahan satu 0 lagi di belakang nominal menjadi Rp1.000.000.000 (baca: 1 milyar)
dan bila seandainya dia kalah, maka dialah yang akan memberikan Si Agensi uang
1 milyar itu. Betul-betul Si Idealis yang berani ambil risiko ekstrem! Jody
marah dan panik, sebab Ben hanya memutuskan sepihak.
Dalam benak Jody
– yang mungkin juga sama dengan pikiran kita – bahwa sangat realistis tidak
menerima tantangan Si Agensi dengan metode seperti apa yang ada di pikiran gila
Ben sementara mereka sedang terbelit utang 800 juta. Lalu bagaimana jika
seandainya mereka kalah dalam kompetisi, bisa-bisa hanya menambah beban
hutang....
Kekhawatiran
Jody berbeda dengan Ben memiliki sudut pandang lain, dia yakin dan optimis bisa
memenangkan kompetisi kopi itu, setelah mendapatkan hadiah 1 milyar, hutang 800
juta mereka lunas, sedangkan sisanya – 200 juta – bisa digunakan mengembangkan
kedai kopi Filosofi Kopi menjadi lebih berkelas.
Ben masih saja kukuh
dan berambisi memenangkan kompetisi, dia terus giat untuk meracik minuman kopi
dengan bahan berkualitas dan dengan teknik pembuatan yang tidak biasa untuk
menjadikan kopi buatannya terlezat di kota Jakarta bahkan di Indonesia.
Hingga datang
seorang gadis cantik pecinta kopi sekaligus penulis – diperankan oleh aktris Julie
Estelle – yang singgah ke kedai Filosofi Kopi ingin mencicipi kopi yang
digadang-gadang adalah kopi terhebat buatan Ben. Ben menamai kopinya dengan julukan
Perfécto.
Sungguh terkejut
Ben karena El – panggilan akrab Elaine – mengatakan bahwa Perfécto bukan yang terbaik, sebab dia pernah merasakan minuman
yang lebih lezat, yakni kopi Tiwus yang pernah dia temui saat mengunjungi
daerah Ijen (perbatasan Banyuwangi dan Bondowoso, Jawa Timur). El bukanlah
penulis dan penikmat kopi biasa, dia sudah memiliki kredibilitas yang sudah
diakui oleh beberapa lembaga.
Demi eksistensi
Filosofi Kopi dan ingin memenangkan kompetisi serta berkat bujukan Jody dan
ancaman skak-mat akan menjual kedai Filosofi Kopi, Ben akhirnya meruntuhkan
sedikit keras kepalanya untuk mau pergi menemui Sang Kopi Terlezat versi El. El
pun tak keberatan untuk mengantarkan mereka ke sana.
Film yang bisa
menggambarkan para pemuda berjiwa pengusaha, penuh ambisi dan misioner. Dari
sini kita bisa ambil nilai bahwa passion
butuh totalitas untuk bisa sukses. Bahkan berani mengambil risiko. Tidak lelah
mencapai mimpi meski menyita pikiran, energi, waktu dan uang.
Seperti Ben,
sebenarnya hatinya berkecamuk saat memutuskan untuk turun menemui Si Tiwus. Dia
tidak percaya ada minuman kopi yang lebih hebat daripada Perfécto. Hati Ben yang kaku bisa agak melunak demi kepentingan
bersama untuk mendapatkan rahasia Si Tiwus, yang nantinya bisa dimanfaatkan
untuk ‘merenovasi’ Perfécto menjadi
kopi yang lebih dahsyat. Jika mereka menang, maka hadiah 1 milyar bukan hanya
angan, demi kelangsungan kedai Filosofi Kopi.
Benar saja, Tiwus
memang ternyata bukan kopi biasa. Sifat idealis Ben semakin memporak-pondakan
perasaannya. Tidak percaya dengan kenyataan yang dihadapinya. Tiwus memang
benar lebih lezaat dari Perfécto.
Yap, di atas langit masih ada langit. Kita tidak boleh sesumbar dengan apapun
yang kita punyai. Kita tidak boleh meremehkan dan menganggap rendah orang lain.
Pak Seno – Si Empunya warung kopi Tiwus – adalah pria desa paruh baya yang
rendah hati (diperankan oleh aktor kawakan, Slamet Rajardjo). Meski dia
merupakan orang dari kalangan menengah ke bawah, namun dia dapat menciptakan
kopi ajaib.
Kehadiran Jody
sebagai sahabat sejati Ben bisa membuka pikiran sempit Ben untuk menerima
kenyataan itu dan menyuruh Ben untuk meracik biji kopi Tiwus untuk diracik
seperti pembuatan Perfécto.
Saya banyak
terkesan dengan dialog dalam film Filosofi Kopi salah satunya saat Ben
bertengkar dengan El. Ben merasa kedatangan El di kedai mereka malah
mengacaukan rencana mereka. Apalagi mengenalkan Tiwus.
Ben menganggap
dirinya sangat mumpuni dalam meracik kopi atas ilmu dan pengalaman yang dia
miliki selama bertahun-tahun berkecimpung di dunia kopi. Lalu El datang dan
menilai Perfécto bukan yang terbaik,
tapi kopi Tiwuslah yang terbaik yang pernah dia rasakan.
“Ini bukan soal
ilmu atau pengalaman. Kamu bikin kopi pake obsesi, sementara Pak Seno pake
cinta. Itu bedanya kalian berdua!” beber El membuat Ben tertegun.
Ben mendapatkan
hidayah dan mau mempergunakan biji kopi Tiwus untuk meracik minuman kopi yang
akan dilombakan.
Mudah ditebak, mereka
berhasil memenangkan kompetisi. Namun yang di luar ekspetasi adalah Ben
mengundurkan diri menjadi karyawan kedai Filosofi Kopi dan memutuskan kembali
ke kampung halaman menemui Sang Ayah yang sudah bertahun-tahun lamanya mereka
berpisah.
Sifat kaku dan
dingin Ben tersebut akibat dari trauma masa kecilnya. Dia pernah kabur dari
rumah sewaktu kecil dan bertemu dengan Jody. Keluarga Jody sangat baik mau
menerima Ben, bahkan menyekolahkannya ke luar negeri.
Kini dia ingin
memperbaiki hubungan dengan Sang Ayah dan berharap bisa melupakan tentang kopi.
Dulu ibunya meninggal mendadak misterius dan ayahnya terguncang. Sang Ayah yang
pernah menjadi petani kopi berhenti berkecimpung dengan kopi dan menyuruh Ben
untuk tidak menyentuh kopi lagi (ada kaitan dengan meninggalnya ibu Ben, namun masih
samar).
Ben dari kecil
hingga dewasa tidak bisa lepas dari kopi. Dia tidak bisa sepenuhnya
menghindarinya. Ayah Ben yang sekarang lebih bijaksana memberi keleluasaan
untuk Ben memutuskan kembali berkecimpung menjadi barista kopi. Apalagi, Jody
juga masih berikhtikad mengajak Ben untuk kembali bergabung dengan Filosofi
Kopi. Keistimewaan kopi Filosofi Kopi sirna tanpa Ben.
Di ending
cerita, mencerminkan bagaimana pengusaha yang ingin keluar dari zona nyaman.
Kedai Filosofi Kopi dijual. Jody membuat ide unik dengan mendirikan kedai kopi
berjalan. Jody dan tim berkeliling kota bahkan provinsi dengan mengendarai bus
mini yang sudah di-setting sebagai
kedai kopi berjalan.
Ben yang kembali
ke kota dan ingin kembali menjadi barista disambut gembira oleh Jody dkk.
Mereka meneruskan perjalanan Filosofi Kopi tidak hanya diam di tempat tapi
berkeliling tempat.
Film Filosofi Kopi
diangkat dari novel karya Dewi Lestari “Dee”, disutradarai oleh Angga Dwimas
Sasongko, berdurasi 1 jam 57 menit ini memiliki rating cukup lumayan yaitu
7.2/10 versi IMDb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar