Minggu, 21 Oktober 2018

[FILM] Filosofi Kopi 1: Si Idealis vs Si Realistis




Lagu “Zona Nyaman” milik Fourtwnty yang nyenengin kuping membuat saya terbuai hanyut dan seketika teringat dengan filmnya. Film agak lama – tahun 2015 – tapi saya tergelitik untuk menuliskan review-nya, sembari ditemani alunan “Zona Nyaman”. Siapa tahu buat kalian penikmat film yang kelewatan nonton film ini, tonton dah! Karena saya terkenang kata sang sahabat yang pernah menyesal karena telat nonton film 3 Idiot yang luar biasa itu. Jadi mungkin aja bisa jadi penyesalan yang sama buat yang telat nonton Filosofi Kopi.
Banyak quote bagus dalam film Filosofi Kopi ini (kali ini saya nge-review sequel 1) dan alur cerita yang mudah yang mudah dicerna namun tidak bisa diprediksi membuat kita tidak beranjak dari tempat duduk kita. Selain acting para aktor yang cukup ciamik, terutama dua aktor utamanya Si Idealis dan Si Realistis yang bersahabat namun sering ‘bertarung mulut’.
Sesuai dengan judul filmnya, film ini berlatarbelakang kopi. Aktor Chicco Jerikho berperan sebagai Ben, pria berambut gondrong tak rapi tapi tetap macho dengan hiasan topi khasnya. Sedangkan Rio Dewanto memerankan Jody yang berpenampilan lebih tertata selayaknya menjadi bos kedai. Mereka adalah sepasang sahabat sejak kecil hingga dewasa yang memiliki bisnis kedai kopi bernama Filosofi Kopi. Ben adalah sosok idealis akut, sedangkan Jody sosok realistis. Perbedaan itu membuat mereka kerap cekcok atas permasalahan-permasalahan tertentu. Penulis cukup terkesan dengan perpaduan sepasang sahabat ini. Berbeda tapi saling mengisi. Mereka tidak bisa jika tidak bersama, karena mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Bisnis mereka ini sedang terbelit hutang sebesar 800 juta rupiah. Sekarang mereka memiliki tunggakan 3 bulan angsuran. Jody bertambah panik karena dia didatangi penagih hutang yang mengancam jika tidak segera dibayar akan dibawa ke rana hukum. Jody dan Ben melakukan rapat kecil untuk mengatasi persoalan ini, tapi solusi kesepakatan yang didapat NIHIL.
Kemudian, film ini mulai membuat terhenyak saat Ben Sang Barista berani menantang sebuah Agensi yang memiliki proyek tender kopi terlezat, yang mana Si Penilai Kopi adalah seseorang penggila kopi yang ‘kebanyakan uang dan uangnya nganggur mungkin’ rela berkeliling dunia hanya untuk menemukan kopi-kopi lezat. Pada awalnya, Ben diimingi-iming hadiah Rp100.000.000 (baca: 100 juta) jika berhasil memenangkan kompetisi kopi terlezat di Jakarta. Namun, Ben Si Idealis malah bertindak gila, dia berani menantang balik Si Agensi yaitu meminta hadiah kemenangan dengan tambahan satu 0 lagi di belakang nominal menjadi Rp1.000.000.000 (baca: 1 milyar) dan bila seandainya dia kalah, maka dialah yang akan memberikan Si Agensi uang 1 milyar itu. Betul-betul Si Idealis yang berani ambil risiko ekstrem! Jody marah dan panik, sebab Ben hanya memutuskan sepihak.
Dalam benak Jody – yang mungkin juga sama dengan pikiran kita – bahwa sangat realistis tidak menerima tantangan Si Agensi dengan metode seperti apa yang ada di pikiran gila Ben sementara mereka sedang terbelit utang 800 juta. Lalu bagaimana jika seandainya mereka kalah dalam kompetisi, bisa-bisa hanya menambah beban hutang.... 
Kekhawatiran Jody berbeda dengan Ben memiliki sudut pandang lain, dia yakin dan optimis bisa memenangkan kompetisi kopi itu, setelah mendapatkan hadiah 1 milyar, hutang 800 juta mereka lunas, sedangkan sisanya – 200 juta – bisa digunakan mengembangkan kedai kopi Filosofi Kopi menjadi lebih berkelas.
Ben masih saja kukuh dan berambisi memenangkan kompetisi, dia terus giat untuk meracik minuman kopi dengan bahan berkualitas dan dengan teknik pembuatan yang tidak biasa untuk menjadikan kopi buatannya terlezat di kota Jakarta bahkan di Indonesia.
Hingga datang seorang gadis cantik pecinta kopi sekaligus penulis – diperankan oleh aktris Julie Estelle – yang singgah ke kedai Filosofi Kopi ingin mencicipi kopi yang digadang-gadang adalah kopi terhebat buatan Ben. Ben menamai kopinya dengan julukan Perfécto.
Sungguh terkejut Ben karena El – panggilan akrab Elaine – mengatakan bahwa Perfécto bukan yang terbaik, sebab dia pernah merasakan minuman yang lebih lezat, yakni kopi Tiwus yang pernah dia temui saat mengunjungi daerah Ijen (perbatasan Banyuwangi dan Bondowoso, Jawa Timur). El bukanlah penulis dan penikmat kopi biasa, dia sudah memiliki kredibilitas yang sudah diakui oleh beberapa lembaga.
Demi eksistensi Filosofi Kopi dan ingin memenangkan kompetisi serta berkat bujukan Jody dan ancaman skak-mat akan menjual kedai Filosofi Kopi, Ben akhirnya meruntuhkan sedikit keras kepalanya untuk mau pergi menemui Sang Kopi Terlezat versi El. El pun tak keberatan untuk mengantarkan mereka ke sana.
Film yang bisa menggambarkan para pemuda berjiwa pengusaha, penuh ambisi dan misioner. Dari sini kita bisa ambil nilai bahwa passion butuh totalitas untuk bisa sukses. Bahkan berani mengambil risiko. Tidak lelah mencapai mimpi meski menyita pikiran, energi, waktu dan uang.
Seperti Ben, sebenarnya hatinya berkecamuk saat memutuskan untuk turun menemui Si Tiwus. Dia tidak percaya ada minuman kopi yang lebih hebat daripada Perfécto. Hati Ben yang kaku bisa agak melunak demi kepentingan bersama untuk mendapatkan rahasia Si Tiwus, yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk ‘merenovasi’ Perfécto menjadi kopi yang lebih dahsyat. Jika mereka menang, maka hadiah 1 milyar bukan hanya angan, demi kelangsungan kedai Filosofi Kopi.
Benar saja, Tiwus memang ternyata bukan kopi biasa. Sifat idealis Ben semakin memporak-pondakan perasaannya. Tidak percaya dengan kenyataan yang dihadapinya. Tiwus memang benar lebih lezaat dari Perfécto. Yap, di atas langit masih ada langit. Kita tidak boleh sesumbar dengan apapun yang kita punyai. Kita tidak boleh meremehkan dan menganggap rendah orang lain. Pak Seno – Si Empunya warung kopi Tiwus – adalah pria desa paruh baya yang rendah hati (diperankan oleh aktor kawakan, Slamet Rajardjo). Meski dia merupakan orang dari kalangan menengah ke bawah, namun dia dapat menciptakan kopi ajaib.
Kehadiran Jody sebagai sahabat sejati Ben bisa membuka pikiran sempit Ben untuk menerima kenyataan itu dan menyuruh Ben untuk meracik biji kopi Tiwus untuk diracik seperti pembuatan Perfécto.
Saya banyak terkesan dengan dialog dalam film Filosofi Kopi salah satunya saat Ben bertengkar dengan El. Ben merasa kedatangan El di kedai mereka malah mengacaukan rencana mereka. Apalagi mengenalkan Tiwus.
Ben menganggap dirinya sangat mumpuni dalam meracik kopi atas ilmu dan pengalaman yang dia miliki selama bertahun-tahun berkecimpung di dunia kopi. Lalu El datang dan menilai Perfécto bukan yang terbaik, tapi kopi Tiwuslah yang terbaik yang pernah dia rasakan.
“Ini bukan soal ilmu atau pengalaman. Kamu bikin kopi pake obsesi, sementara Pak Seno pake cinta. Itu bedanya kalian berdua!” beber El membuat Ben tertegun.
Ben mendapatkan hidayah dan mau mempergunakan biji kopi Tiwus untuk meracik minuman kopi yang akan dilombakan.
Mudah ditebak, mereka berhasil memenangkan kompetisi. Namun yang di luar ekspetasi adalah Ben mengundurkan diri menjadi karyawan kedai Filosofi Kopi dan memutuskan kembali ke kampung halaman menemui Sang Ayah yang sudah bertahun-tahun lamanya mereka berpisah.
Sifat kaku dan dingin Ben tersebut akibat dari trauma masa kecilnya. Dia pernah kabur dari rumah sewaktu kecil dan bertemu dengan Jody. Keluarga Jody sangat baik mau menerima Ben, bahkan menyekolahkannya ke luar negeri.
Kini dia ingin memperbaiki hubungan dengan Sang Ayah dan berharap bisa melupakan tentang kopi. Dulu ibunya meninggal mendadak misterius dan ayahnya terguncang. Sang Ayah yang pernah menjadi petani kopi berhenti berkecimpung dengan kopi dan menyuruh Ben untuk tidak menyentuh kopi lagi (ada kaitan dengan meninggalnya ibu Ben, namun masih samar).
Ben dari kecil hingga dewasa tidak bisa lepas dari kopi. Dia tidak bisa sepenuhnya menghindarinya. Ayah Ben yang sekarang lebih bijaksana memberi keleluasaan untuk Ben memutuskan kembali berkecimpung menjadi barista kopi. Apalagi, Jody juga masih berikhtikad mengajak Ben untuk kembali bergabung dengan Filosofi Kopi. Keistimewaan kopi Filosofi Kopi sirna tanpa Ben.
Di ending cerita, mencerminkan bagaimana pengusaha yang ingin keluar dari zona nyaman. Kedai Filosofi Kopi dijual. Jody membuat ide unik dengan mendirikan kedai kopi berjalan. Jody dan tim berkeliling kota bahkan provinsi dengan mengendarai bus mini yang sudah di-setting sebagai kedai kopi berjalan.
Ben yang kembali ke kota dan ingin kembali menjadi barista disambut gembira oleh Jody dkk. Mereka meneruskan perjalanan Filosofi Kopi tidak hanya diam di tempat tapi berkeliling tempat. 
Film Filosofi Kopi diangkat dari novel karya Dewi Lestari “Dee”, disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko, berdurasi 1 jam 57 menit ini memiliki rating cukup lumayan yaitu 7.2/10 versi IMDb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar